Tuesday, June 20, 2006

DALAM KUYUP GERIMIS

Cerpen Y Wibisono

"AKU tak bisa, Bram. Sungguh. Senin pagi aku harus siap di sana. Atau, aku harus mengulang tahun depan. Kamu tahu kan, aku .." Suara beningnya terhenti ketika aku memegang bahunya lembut.
“Demi aku Na, demi aku.”
Matanya menatap lurus padaku, seperti sebuah kilauan sinar yang mencoba mencari sesuatu dalam cerukan.
“Aku tawarkan begini. Kamu tetap ikut reuni di rumah Ketut, dan besok paginya kau sudah di sana.”
“Maksudmu?”
“Aku akan menemanimu besok ke Surabaya, jam berapapun kau mau!”
Lagi-lagi kilauan sinar itu menerpa mataku. Aku berusaha tenang, meski sungguh aku gelisah ketika mata itu menyorotku.
“Janji ya?”
Ia menyodorkan kelingkingnya, dan segera kusambut. Kelingking kami saling bertaut. Ini cara berjanji yang umum dilakukan, sejak bertahun lalu ketika kami bagian dari kelompok remaja sebuah SMA. Wina teman satu kelasku ketika di SMA dulu. Meski ada penjurusan, kami selalu satu kelas sampai kelas tiga.
Angin malam mulai menusuk. Musim di Trenggalek selalu begini. Meski siang panas, tapi malam dipenuhi angin dingin yang membekukan tulang.
“Tiket ke Balikpapan sudah beres?”
“Sudah, penerbangan pertama.”
Angin dingin menampar wajah kami. Pelan tanganku menyentuh rambutnya yang berayun ditiup angin.
“Sampai di Samarinda jangan lupa telpon. Kirimi juga beberapa foto Mahakam.”
“Tentu. Tapi telpon dan alamat di Rungkut, belum dikasih?”
Ia menolehkan wajahnya padaku, lagi kilauan bening itu menerpaku.
“Aku nggak mau ngasih sekarang. Besok malam kau kan ikut. Sebenarnya aku memang ingin kau sempatkan mampir di Surabaya, sebelum kembali ke Kalimantan.”
Kugenggam tangannya, dan menikmati wajahnya yang lembut. Di reuni pertama dulu, kami tak sedekat ini. O, lelaki yang tak pandai membaca keindahan. Kenapa harus setelah sekian lama? Wina bersamaku selama tiga tahun di SMA. Dan selama itu, kami hanya berteman. Aku berpacaran dengan adik kelas. Dan Wina? Ya ampun, aku bahkan tak tahu Wina punya pacar atau tidak. Ia kutu buku.

**

“WINA jadi datang?” sergap Joko ketika aku baru masuk rumahnya.
“Yoi. Dengan perjanjian.”
Kulepas jaket dan menyambar keripik pisang di meja. Aku memang terbiasa di rumah ini sejak SMA. Ini salah satu ‘markas’ kami.
“Aku harus menemani ke Surabaya besok. Terpaksa. Kasihan, malam-malam perempuan naik bis sendirian.”
“Lagakmu. Itu kan yang kamu mau?”
Aku hanya menyeringai merasakan tinjunya di lenganku.

**

DUA tahun lalu, kami bertemu di reuni pertama. Sebuah reuni sederhana di rumah Wiwik, seorang teman yang menikah selepas SMA. Kami memang bersepakat untuk reuni setiap dua tahun, khusus kelas kami. Wina kuliah kedokteran di Surabaya. Sementara aku, setelah selesai diploma informatika di Malang, merantau ke Samarinda. Bekerja di perusahaan perkayuan sambil kuliah lagi di ekonomi.
Ketertarikanku pada hal-hal medis serta rasa penasaran Wina pada rimba Kalimantan, mendekatkan kami. Bahwa pemikiran Wina cerdas, aku sudah tahu dari dulu. Tapi sungguh aku baru menyadari bahwa matanya indah. Seperti ada telaga teduh, tapi dalam sekejap berubah sinar berpendaran ketika ia berbicara penuh semangat.
“Hei, dilarang selingkuh ya?” Wiwik, tuan rumah yang ramah menggoda kami. Aku hanya senyum sambil melirik Wina. Siapa selingkuh? Apakah Wina telah .. Ah, tak penting.

**

KEHIDUPAN selalu mencipta jarak baru, bahkan untuk sekedar berkumpul. Kawan yang datang di rumah Ketut tak sebanyak ketika reuni pertama. Beberapa tak bisa datang meski sudah mengusahakan.
Acara hampir dimulai, saat aku masuk menggandeng Wina. Beberapa kawan berbisik melihat kami. Joko ternyata telah datang lebih dulu.
Tuan rumah membuka acara, dilanjutkan beberapa kawan. Aku menjadi salah satu yang harus berkisah. Rupanya, aku tetap menjadi satu-satunya orang rimba. Mereka tak pernah bosan mendengar bualanku.
“Hutan-hutan di sana tak seseram yang kita bayangkan. Kebanyakan telah menjadi bukit-bukit gundul atau ladang belukar. Binatang buas tak ada di sana. Kecuali beruang madu, ular sanca, dan orangutan yang ramah.”
“Masa nggak ada harimau?” protes Agus, nampak penasaran.
“Nggak ada. Yang ada paling kucing liar. Mungkin macan dahan ada, tapi jarang. Yang justru takkan terlupakan adalah sungai Mahakam. Sungai ini membelah kota Samarinda menjadi dua bagian. Di malam hari, air sungai memantulkan cahaya lampu-lampu kota ..”
Ketika kusebut Mahakam, kulihat sekilas mata Wina berbinar.
Acara semakin meriah ketika seorang teman berkisah tentang proses pernikahannya. Beberapa kawan yang lajang begitu bersemangat mendengarkan.
Satu-satunya perhatianku saat ini adalah Wina. Kuajak dia ke salah satu sudut ruangan. Dari sini, kami bisa memandang ke semua meja.
Wajah di sebelahku nampak teduh, meski terlihat lelah. Aku tahu, sebelum kujemput ia pasti telah berkemas untuk nanti malam.
Apakah aku kekasih Wina? Aku terkejut dengan pikiran itu. Dulu, ketika SMA, teman-teman selalu mengawali pacaran dengan sebuah kata sakral: ‘jadian’. Lalu setelah itu ada ‘putusan’. Dan biasanya kata itu terus berulang.
Aku melirik ke sebelah. Meski tatapnya ke arah ruangan, tapi kurasakan ia merenung sesuatu yang tak kutahu.
Hubungan ini begitu lekas sekaligus begitu lama. Tanpa perlu sebuah kata awal. Lekas, karena kami akrab hanya di dua kali reuni, dan kebersamaan di beberapa hari. Lama, karena sebenarnya wajah teduh ini telah kukenal sejak tujuh tahun lalu.
“Berangkat jam berapa nanti?”
Ia nampak kaget, lalu menoleh ke arahku hingga wajah kami berdekatan.
“Dari rumah jam 2.30. Rencanaku begini. Kamu menunggu di Durenan. Kemungkinan bis sampai di sana jam 3.00. Kuharap kau sudah siap di sana.”
Rencana yang menarik!
“Kenapa tidak berangkat bareng dari rumahmu saja?”
Wajahnya memerah. Aku tahu, itu tak mungkin. Tempat tinggal Wina adalah daerah yang sangat menjunjung tinggi nilai-nilai. Tak pantas, seorang pria menginap di rumah wanita yang bukan saudaranya.
“Tak enak sama orang rumah. Tapi aku sudah bilang, bahwa seorang teman akan menungguku di Durenan.”
“Seorang teman?”
“Iya. Emang apa?”, cubitanmu di paha cukup keras, tapi hatiku berdendang.
“Terus, aku akan memakai sweater putih, duduk di sebelah kiri. Aku akan ambil bangku nomor dua, di pinggir. Jika tak dapat, aku ambil di nomor tiga dan seterusnya.”
Rencana yang matang. Wajah teduh ini ternyata pandai juga membuat rencana.
“Yang seperti ini dipelajari juga di kedokteran?”
Lagi-lagi aku dapat cubitan kecil.

**

SAMPAI di rumah jam 12 malam. Aku masih punya dua setengah jam untuk istirahat. Aku memilih tidur di sofa ruang tamu. Pada ibuku aku berpesan agar membangunkanku tepat pukul 2.30, kukatakan aku akan menemani seorang teman ke Surabaya. Di rumah tak ada beker, tapi ibu selalu sholat malam.
Meski amat mengantuk, aku tetap tak bisa melupakan harum rambutmu. Juga sebuah pelukan yang segera kita lepas selekas suara kaki kakakmu yang menyambut. Wajahmu amat teduh, tersenyum sesaat sebelum aku terlelap.

**

SESEORANG membangunkanku. Ibu. Beliau sudah siap berangkat ke masjid. Astaga, ini sudah subuh!
“Ibu pikir kamu sudah berangkat. Kamarmu kosong. Ibu lupa kamu tidur di sini. Susul saja temanmu, mungkin bisa ketemu.”
Aku tak begitu mendengar kata ibu. Seperti terbang aku ke kamar mandi. Membasahi muka, dan dengan kecepatan yang sama berlari ke perhentian bus. Jalan kecil di gang ini gelap, tapi aku hapal detilnya. Aku berlari seperti panah. Sebuah bis yang baru bergerak kukejar. Seperti binatang aku menerkam pintu belakang yang terbuka dan menabrak kondektur.
Ibu, aku memang belum pernah menjelaskan siapa teman yang akan bersamaku ke Surabaya. Tuhan, aku harus menyalahkan siapa?
Bis ini pasti telah berjalan kencang seperti umumnya bis malam hari. Tapi bagiku amat lamban. Aku gelisah. Di setiap terminal aku meloncat turun, lalu naik lagi. Aku berharap ada seorang gadis memakai sweater putih menungguku di salah satu terminal. Di bis hanya ada tiga penumpang. Empat denganku. Mereka memperhatikanku. Mungkin terganggu, tapi siapa peduli?
Pohon-pohon sepanjang jalan seolah menyoraki kebodohanku. Seorang gadis menempuh perjalanan sepanjang 180 km malam hari. Menaiki bis malam yang umumnya berpenumpang pria. Wanita lain aku tak peduli. Tapi ini Wina, Winaku! Aku ingin menjerit.

**

MEMASUKI terminal Purabaya, gerimis turun. Awan hitam bergulung. Tapi hatiku lebih pekat dari itu. Aku meloncat dari bis dengan tatapan binatang hutan. Calo dan preman terminal nampak tak tertarik padaku. Apa yang bisa mereka harap dari pria kumal sepertiku?
Aku berjalan dengan mata yang terus mengawasi setiap sudut. Di mana kau Na? Jantungku berdegup ketika seseorang berbaju putih nampak di salah satu bangku tunggu. Nafasku memburu. Ya Tuhan, akhirnya ..
Gadis itu menoleh saat aku hampir menyentuhnya. Astaga. Gadis ini berbaju putih, tapi jelas bukan Wina. Ia terheran memandangiku. Aku meringis pilu menatapnya.
Aku kembali ke perhentian bis dan menyisir ulang lorong terminal dengan pikiran bergumpal, apa yang akan dilakukan seorang gadis yang kecewa, marah ketika turun dari bis. Mungkin langsung naik angkutan lain. Atau, akankah ia duduk di suatu tempat, menungguku?
Gerimis semakin rintik. Tubuhku basah. Tapi hatiku telah membasah sejak tadi. Mengutuki diri. Apa susahnya tidak tidur hingga jam 3 pagi, untuk seseorang yang mungkin akan mengisi hidupku?
Sebuah bangku kosong menawarkanku duduk. Aku pasti berandalan tak berguna bagi Wina. Bukankah dari dulu Bramantyo hanya seorang pecundang? Gerimis semakin deras membasahi halaman terminal Purabaya. Seperti air suci menyiram altar pengadilan. Dan seorang pesakitan telah pasrah pada nasib.
Tak ada yang bisa kulakukan sekarang. Aku tak punya alamatnya di Surabaya. Bisa saja mencari informasi ke rumah keluarganya, tapi buru-buru kutepis. Ketiduran? Alasan itu hanya cocok untuk seorang pecundang.
Wina akan menganggapku seorang pengecut di sepanjang hidupnya. Itu setimpal untukku. Minggu depan aku sudah di Samarinda. Seorang pecundang, kembali ke perantauan lagi.
Kuusap mukaku, basah dan kotor. Tak ada airmata di sana. Tapi, Tuhan tahu, hatiku terisak menangis.